Mayjen. Prof. dr. Eri Soedewo

Berdasarkan kisah hidup Kusmartindjung (Mang) dari awal perjumpaan sampai akhir hayat sang suami, Eri Soedewo yang ditulis dalam “Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan

Eri Soedewo di Stockholm 1978 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Lahir: Pasuruan, 12 Mei 1919

Wafat: Jakarta, 30 November 1984

Menikah: Yogyakarta, 16 Mei 1946

Istri: Kusmartindjung (Mang) 9 Juni 1927

Anak:

  1. Endang Sulistyo Sayekti Khatulistiwati (Niesye) atau dr. Nies Endang Mangunkusumo, Sp. THT-KL (Cikampek, 3 April 1947)
  2. Bambang Tutuko Arif Budiman (Bandung, 6 Mei 1950)
  3. Pandu (Bandung, 22 September 1951)
  4. Dewi Sri Ayati (Jakarta, 10 Mei 1955)

Relasi:

  1. Eri Soedewo adalah keponakan dari Sudibjo, Bupati Magetan
  2. Eri Soedewo sepupu dari dr. Hurustiati, istri dr. Soebandrio (nanti jadi Wakil Perdana Menteri I, Menteri Luar Negeri, Kepala BIN, Dubes di Britania Raya). R.M. Sapiuddin Reksoatmodjo (Ayah Eri) adalah kakak dari R.A. Rukmini Djuleika (Ibu Hurustiati).
  3. Eri Soedewo dan Mang adalah besan dari Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo (Menteri  Kemakmuran, adik dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo).
  4. Eri Soedewo dan Mang adalah besan dari Mayjen. Wahyu Hagono (Pangdam Siliwangi)
  5. Eri Soedewo dan Mang adalah besan dari KPH Suryosurarso (Putra Mangkunegara V)
  6. Eri Soedewo dan Mang adalah besan dari Mr. Soewito Koesoemowidagdo (Sekjen Deplu, Dubes di Amerika, Dubes di Swedia)
  7. Mang adalah kakak ipar dari Kassim Mohammad Hussein (nanti jadi Dubes Malaysia utuk Myanmar)
  8. Neneknya Mang dari pihak ibu masih saudara dekat dengan keluarga Jacky Djumantara Wahju (nanti jadi Duta Besar di Turki) diketahui ketika Jacky bertugas di bagian protokol KBRI Stockholm, Swedia tahun 1976.

Pendidikan:

  1. S1 Sekolah Kedokteran NIAS 1937-1945 (nanti jadi Universitas Airlangga)
  2. Spesialis Bedah Umum 1952-1956, RSPAD-RSUP Universitas Indonesia
  3. Spesialis Bedah Toraks 1959-1960 dan 1963-1964, Universitas Lund dan Unversitas Uppsala, Swedia
  4. S3 Ilmu Bedah Universitas Indonesia (1961)
  5. Guru Besar Ilmu Bedah Universitas Airlangga (1972)

Karier:

  1. Dokter Batalyon Karawang (Kapten)
  2. Kepala Staf Resimen VI Karawang
  3. Komandan Keamanan Kota Cikampek
  4. Komandan Keamanan Kota Purwakarta
  5. Kepala Staf Brigade Tirtayasa
  6. Komandan Brigade Tirtayasa
  7. Komandan Angkatan Perang Teritorial Banten
  8. Kasdam Siliwangi
  9. Kepala Bagian Bedah RSPAD 1956-1966 (Kolonel-Brigjen)
  10. Rektor Universitas Airlangga 1966-1974 (Mayjen)
  11. Duta Besar di Swedia 1975-1978

Kediaman:

  1. Jl. Palem, Pandeglang
  2. Jl. Bali No. 2, Bandung (sekarang Wisma Dharma Bakti)
  3. Jl. Dago, Bandung
  4. Jl. Lamping No. 2, Bandung
  5. Jl. Diponegoro No. 54, Jakarta
  6. Jl. Lapangan Banteng Barat No.10, Jakarta
  7. Jl. Dr. Abdulrahman Saleh No. 8, Jakarta
  8. Jl. Imam Bonjol No. 55, Jakarta 
  9. Jl. Jawa No. 16, Surabaya
  10. Jl. Kramat VI No. 12, Jakarta              

*Seluruhnya rumah dinas kecuali Jl. Lamping No. 2,  Bandung, Jl. Imam Bonjol No. 55, Jakarta, Jl. Kramat VI No. 12, Jakarta.

Organisasi:

  1. Ketua Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) 1973
  2. Ketua Surabaya Golf Club

Lain-lain:

  1. Waktu bergerilya Eri merokok Philip Morris
  2. Mendali The Commander of The Northern Star dari Kerajaan Swedia
  3. Slogan ‘Bedadung, bedadung’ yang artinya yang artinya ‘Hanya orang yang sabar dan berani yang akan memperoleh kemenangan’
  4. Lagu Sepasang Mata Bola, Kroncong Kemayoran, Rangkaian Melati, Rayuan Pulau Kelapa, Ayam den Lapeh, Halo Halo Bandung dan La Cumparsita
  5. Motto ‘Milik itu merupakan kerepotan’ dari bahasa belanda ‘Bezit is ergernis’

Pertemuan Pertama

Eri (2) mengawal Bung Karno (1) memasuki lapangan Ikada 19 September 1945. Hadir juga Tan Malaka (3), Bung Hatta (4) dan Adam Malik (5). (Mahasiswa’45 Prapatan-10: Pengabdiannya 1, 1984)

Pertama kali Mang mengenal Eri di Boja, Kendal. Waktu itu Mang dan sahabat karibnya, Mbak Nan adalah sukarelawati Palang Merah dari Yogyakarta berumur 18 tahun yang secara spontan memenuhi ajakan pamannya dr. Radjiwan untuk pergi ke front di Semarang pada 20 Desember 1945 untuk membantu rumah sakit darurat yang didirikan pamannya.

Eri adalah mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang meninggalkan bangku kuliah untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bersama teman-teman dari Prapatan 10. Prapatan 10 adalah alamat asrama mahasiswa kedokteran di Jakarta.


Jenjang Karier Eri Dalam Kemiliteran

Mang dan Eri sekembali dari Swedia sebagai purnawirawan (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Selama Mang mendampingi Eri bertugas di awal kemiliteran, Mang hidup berpindah-pindah tempat dari mulai menumpang di Kediaman dr. Andreas di Karawang, dr. Radjiwan (Paman Mang) di Purwokerto, rumah di Cikampek dan Purwakarta sampai mengungsi di Rumah Sakit Umum Purwakarta.

Setelah Belanda mengirimkan mata-mata untuk mencari istri-istri TNI yang ditinggal suaminya bergerilya di hutan, Mang kemudian menumpang kembali di kediaman dr. Sugiri di Purwakarta selama 50 hari, kediaman dr. Andreas di Karawang selama 50 hari dan kediaman Ibu Kartidjan di Jl. Talang No. 18, Jakarta.

Setelah Eri dan Mang bertemu di Jakarta, mereka menumpang di Kediaman Mas Pramono di Bogor selama 3-4 hari kemudian menyewa rumah dengan harga F50 perbulan selama 50 hari. Waktu itu Eri masih harus hidup dengan bersembunyi agar tidak diketahui Belanda. Kemudian Eri kembali bergerilya lagi, hingga akhirnya mendapat penugasan baru di Banten. Setelah mendengar kabar lokasi penugasan baru Eri, Mang menyusl Eri dari Tanah Abang, Jakarta dengan oplet dan dokar pada percobaan ke tiga pada 10 Mei 1948.

Chairil Anwar

Suatu hari di Bogor ketika Eri pergi keluar mencari buku pelajaran bahasa inggris secara sembunyi-sembunyi, seseorang berteriak dan menyatakan rasa gembiranya bertemu Eri, orang itu mengenal Eri. Sontak Eri langsung membungkam mulutnya dengan tangan dan memberi isyarat untuk mengikutinya pulang. Orang itu kita kenal sebagai Chairil Anwar.

Gatot Soebroto, Soerono Reksodimedjo dan Soepardjo Roestam

Pada akhir November 1946, Mang tiba di Purwokerto dan tinggal di kediaman pamannya dr. Radjiwan. Pada suatu pagi Mang mendapat kabar bahwa Eri akan naik kereta api dari Yogyakarta menuju Karawang dan akan singgah di Purwokerto, sontak membuat Mang harus menemui Eri di Stasiun Purwokerto sekaligus untuk menerima kiriman koper. Namun mobil dr. Radjiwan sedang diperbaiki di bengkel sehingga dr. Radjiwan menelepon Panglima Divisi Diponegoro, Kolonel Gatot Soebroto untuk mohon pinjaman mobil.

Pukul dua malam mobil datang dan diantar ke stasiun oleh tiga orang. Setelah pertemuan singkat dengan Eri, Mang pulang dengan membawa koper kiriman dengan tiga orang yang mengantarnya. Sungguh terkejut setengah mati dr. Radjiwan ketika menegetahui yang mengantar kemenakannya adalah Kolonel Gatot Soebroto berserta dua ajudan.

Beberapa dasawarsa kemudian sesudah kejadian ini pada suatu resepsi, Jenderal Soerono Reksodimedjo (Menkokesra) dan Letjen Soepardjo Roestam (Mendagri) mengaku adalah dua dari tiga orang yang mangantar Mang waktu itu. Pak Soerono sebagai kuli angkat koper, sedangkan Pak Pardjo sebagai sopir.


Masa Bakti di Banten

Ketika Eri baru bertugas di Banten, Letkol Sadikin ditugaskan untuk menggantikan Letkol Sukanda Bratamanggala. Tapi setelah berminggu-minggu Kolonel Sadikin tak kunjung datang karena harus menumpas pemberontakan kaum komunis di Jawa Tengah, sehingga Bung Hatta (yang waktu itu Wakil Presiden sekaligus Menteri Pertahanan) mengangkat Eri Soedewo menggantikan Letkol Sukanda Bratamanggala sebagai Komandan Brigade Tirtayasa, tetap dengan pangkat Letkol.

Mang tinggal sementara di penampungan di Serang, kemudian mendapat rumah dinas di Jl. Palem Pandeglang bekas Asisten Residen Belanda. Setelah Belanda menduduki Banten, Eri kembali bergerilya di hutan sedangkan Mang kembali mengungsi mulai dari Kediaman Jeng Padmi sampai Rumah Sakit Serang.

Ketika Eri sedang bergerilya, Mang beserta Tante Maga yang sekarang tinggal di Jl. Matraman No. 107, Jakarta (Istri dr. Andreas di Karawang) merintis usaha kain kebaya yang akan dijual kepada ibu-ibu di Banten dan lidah asin yang akan dikirim ke Jakarta. Namun usaha itu kandas karena Mang dikenakan tahanan kota, tidak diperbolehkan meninggalkan kota Serang dan selama dua minggu sekali harus wajib lapor ke Komandan Belanda, Letkol Bruyntjes. Dalam masa sulit itu Nisye dititipkan pada neneknya di Jakarta.

Setelah hasil Perundingan Meja Bundar disetujui, Eri dan pasukannya kembali ke Kota Serang. Esok paginya Eri mengadakan pertemuan dan dipinjami jip oleh Komandan Belanda, Letkol Bruyntjes. Malam harinya Letkol Bruyntjes berkunjung ke kediaman Eri setelah makan malam dengan pakaian sipil dan membawa botol Bols Genever.


Kepala Staf Divisi Siliwangi

Mula-mula Mang tinggal di Buahdua, Sumedang, tempat Markas Siliwangi di pedalaman selama 50 hari. Rumahnya kecil tanpa kamar mandi, hanya ada kotak kecil tanpa atap yang dibangun di sekelilingnya empat tiang bambu. Kemudian pindah ke Bandung, setiba di Bandung Mang menginap di Hotel Savoy Homann selama kurang lebih dua minggu, kemudian berjalan-jalan di Jalan Braga, kemudian menginap di Pension RozenhofCiumbuleuit selama hampir satu bulan lamanya. Mang akhirnya menempati rumah di Jl. Bali No. 2

Eri Soedewo bersalaman dengan Letkol Holle 1949 di Buahdua, Jawa Barat (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Rasa penyesalan menyelimuti Eri pasca dikejutkannya peristiwa APRA yang mengakibatkan gugurnya Letkol Lembong dan puluhan prajurit lainnya. Rasa penyesalan itu membuat Eri tidak enak badan, lesu, tidak ada semangat kerja, tidak ada selera makan, dan tidak bisa tidur, sering diganggu oleh mimpi buruk. Eri sangat sedih dan hancur melihat para janda dan anak yatim itu. Akhirnya dr. Kornel akhirnya mengirim Eri beristirahat di Lembang Grand Hotel.

Wisma Dharma Bakti Jl. Bali No. 2 (Dok. pribadi, Juni 2020)

Karena Rumah Jl. Bali No.2 masih dalam renovasi pasca peristiwa APRA akhirnya sekembali dari Lembang Grand Hotel Eri dan Mang sementara menginap di pension di Jalan Wastukencana dan Hotel Benvenuto yang teras kamarnya menghadap ke Gedung Sate. Akhirnya Eri memutuskan untuk tidak kembali menempati Rumah di Jl. Bali No. 2 dan pindah ke rumah bekas Oversete Holle di Jl. Dago pada awal bulan Maret 1950.

Setelah melahirkan Pandu (Bandung, 22 September 1951) Mang mengalami depresi pasca melahirkan. Setelah berkonsultasi dengan Letkol. dr. Soemantri Hardjoprakoso (nanti jadi Guru Besar Ilmu Neurologi dan Psikiatri Universitas Padjadjaran serta Pendiri dan Dekan Pertama Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal) Eri berkesimpulan untuk mengajukan permintaan kembali menjadi dokter, dan Jakarta telah mengabulkan permintaanya. Mulai Januari 1952, Eri ditempatkan sebagai dokter di RSPAD.

Jl. Lamping No. 2A (Dok. pribadi, Juni 2020)

Selama setahun pertama Eri di Jakarta, Mang, ibunda Eri, Nisye, Arif dan Pandu tinggal di Jl. Lamping No. 2, Bandung (Sekarang Jl. Lamping No. 2A). Eri pulang ke Bandung sebulan sekali.  3 Januari 1953 Mang beserta Nisye, Arif dan Pandu menyusul Eri tinggal di Jakarta. 

Pasca APRA

Keesokan hari setelah peristiwa APRA, sesudah jam 10 pagi Mang mendapat telepon dari Jakarta bahwa pada hari itu Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Pertahanan juga sebagai Sultan Yogyakarta) dan Mr. Ida Anak Agung Gde Agung (Menteri Dalam Negeri juga sebagai Raja Gianyar Bali) akan bersantap siang di kediaman Eri. Telepon tersebut sontak membuat Mang kaget dan segera menyiapkan makan siang untuk 30 orang.

Menekan batin

Ketika menjadi seorang istri Kepala Staf Siliwangi, Mang mengalami kebingungan karena pakaiannya dianggap oleh isteri-isteri dokter terlalu kumel dan tidak layak untuk seorang istri Kepala Staf Siliwangi. Kemudian mereka memberikan Mang beberapa potong bahan dan menyeret Mang ke tukang jahit langganan mereka. Mereka membimbing Mang dalam memasuki kehidupan masyarakat tingkat tinggi.

Disisi lain, Mang dihantui perasaan seakan sebagian dari teman-teman barunya berteman dengannya hanya karena kedudukan Eri. Eri juga sering diganggu oleh orang yang tidak jujur, yang ingin menyalahgunakan kedudukannya untuk keuntungan pribadi, seperti meminta perizinan membuka tempat perjudian, pemasok kebutuhan divisi, membangun asrama prajurit dan sebagainya. Ketika itu Mang juga merasa risih dan malu dengan pengawalan di keramaian umum, bosan dengan resepsi, acara resmi dan protokol yang harus ditaati.


Sebagai Dokter di Jakarta

Di halaman rumah Jl. Lamping No. 2, Bandung yang didiami, setelah Eri melanjutkan pendidikan sebagai dokter bedah. Dari kiri ke kanan: Mang, Arif, Eri dan Nisye (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Selama menjadi dokter di RSPAD, tugas lain yang diemban Eri diantaranya adalah

  1. Dokter tentara di Aceh karena ada pemberontakan Daud Beureuh
  2. Dokter Tim Nasional Renang dan Polo air di Singapura
  3. Mendapat brevet Ahli Bedah dari RSUP (nanti jadi RSCM) diuji oleh Prof. dr. Margono Soekarjo dari UI
  4. Dokter Tim Olimpiade Renang dan Polo air di Melbourne, Australia 1956
  5. Misi Angkatan Darat di Amerika 1958
  6. Pelatihan mesin bedah jantung terbuka di Swedia
  7. Pelatihan mesin bedah jantung dan paru terbuka di Malmo, Swedia 1963 (lalu bertemu Kacuk di Frankfurt, Jerman dan pergi ke Amerika Serika menemui dr. Ort)

Ke Swedia Meraih Gelar Doktor

Eri dan Mang, 1959 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Mang menyusul Eri menggunakan maskapai S.A.S dengan tujuan Copenhagen, Denmark. Mereka bermalam di Kediaman saudara Eri dari Pasuruan, Keng Jo (staf Konsulat Indonesia di Copenhagen).

Keesokkan harinya Mang dan Eri naik ferry selama 30 menit menuju Malmo, Swedia tempat studi Eri.

Pada libur Natal dan Tahun baru 1960, Eri dan Mang pergi mengelilingi Eropa dengan mobil dari Swedia sampai Genoa, kemudian berlayar dengan kapal Italian Lloyd Triestino selama tiga minggu, hingga sampai di Tanjung Priok, Jakarta.

Eri mengunjungi Royal Carolinska Hospital, Rumah Sakit Universitas Uppsala, Stockholm

Mang mengunjungi adiknya, Dani di London selama 10 hari. Mang menginap di Kediaman Komodor Henk Sutoyo (Atase Angkatan Udara di KBRI London, Inggris). Mang berjalan-jalan ke Toko SelfridgesHarrods dan Museum Lilin Madame Tussauds.

Eri dan Mang bersepakat bertemu di Keulen, Jerman. Eri didampingi oleh Kolonel D. I. Pandjaitan (Atase Angkatan Darat KBRI di Bonn, Jerman). Berkat kemurahan hati Pak Pandjaitan, mereka diberikan tiket gratis perjalanan dan fasilitas ke Berlin dan Dusseldorf. Di Berlin, mereka makan siang di Under de Linden. Dari Berlin, mereka kembali ke Bonn dan melanjutkan perjalanan ke Dusseldorf naik mobil Opel Rekord yang dia beli untuk Mang di Copenhagen.

Dari Dusseldorf, Eri dan Mang melanjutkan perjalanan ke Paris, Prancis dan menginap di Rumah Atase Militer Indonesia, Abu Jamal. Eri dan Mang kemudian mengunjungi Les Halles untuk menikmati onion soup.

Tujuan Eri dan Mang berikutnya adalah Roma, Itali. Mereka tinggal di rumah seorang teman, keluarga Sudoyo. Mang dan Eri melihat Air Mancur Trevi.

Dari Roma, Eri dan Mang naik mobil menuju Genoa yang akan membawa pulang ke Jakarta dengan Kapal Italian Lloyd Triestino, dengan membawa mobil Opel Rekord dan motor Lambretta.

Ketika kapal berhenti sebelum memasuki Terusan Suez, Eri dan Mang dijemput oleh Atase Militer dari Kedutaan Indonesia di Cairo, Kolonel Hertasning untuk menyaksikan sedikit dari Negara Mesir. Sore hari mereka sudah ada di kapal lagi.

Olimpiade Roma 1960

Secara mendadak Eri bersama Josef Muskita dan Ashari Danudirdjo harus berangkat ke Napoli, Itali sebagai delegasi atlet cabang olahraga layar setelah lolos sekelsi di Jakarta dan Singapura.

Setelah selesai berlomba mereka masih harus menunggu keberangkatan pulang dan sementara ditampung di di rumah Kolonel Achmad Tahir (Atase Militer Indonesia di Roma).

Menjemput Dani

Setelah Dani menyelesaikan pendidikan bidannya di London, Mang menjemputnya di Singapura dan ditampung di rumah Atase Militer Indonesia, Letkol Imam Sutopo. Kemudian Mang dan Dani pergi ke Malaysia dan dijemput oleh Letkol Soepardjo Rustam, Atase Militer Indonesia di Kuala Lumpur.


Peristiwa G30S PKI

Pada malam 30 September 1965 Eri Soedewo pulang terlambat karena mengobati Tommy Soeharto yang menderita luka bakar akibat tersiram sup panas di RSPAD.

1 Oktober 1965 Sunarti Gondokusumo, isteri Jenderal A.H. Nasution mengemudikan mobilnya sendiri untuk buru-buru menjemput Eri untuk mengoperasi Ade Irma Suryani Nasution yang terkena tembakan pasca peristiwa naas tersebut.

Ketika terjadi unjuk rasa untuk memperjuangkan Tritura, Eri menyemangati mahasiswa yang gentar terhadap iring-iringan tank dan mobil panser dan mahasiswi yang lari ketakutan ketika sedang membungkus nasi untuk para demonstran. Eri juga menghubungi Letkol Ali Rahman untuk menyediakan penjagaan kepada para mahasiswa, demonstran dan simpatisan.

Mang juga menjadikan lantai satu rumahnya di Jl. Imam Bonjol No. 55 sebagai tempat berkumpul mahasiswa, demonstran dan simpatisan. Mang bersama Dapur Umum Dewi (tim yang terdiri dari teman-teman Mang, seperti Pia Alisjahbana dan Atika Algadri, juga Nisye dan teman-temannya serta para relawan) membuat kurang lebih seribu nasi bungkus untuk rakyat yang turut berjuang.

Jl. Imam Bonjol No. 55 (Dok. pribadi, Januari 2021)

Rektor Universitas Airlangga 1966-1974

Rektor Universitas Airlangga 1966-1974 (Soedewo, 2008)

Di awal masa tugas Eri di Surabaya, Mang harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya di Jakarta, sehingga tiap 2 minggu sekali Mang bolak balik Surabaya-Jakarta naik mobil atau kereta api demi anak-anaknya. Namun setelah rumah di Jl. Imam Bonjol No. 55, Jakarta di jual serta Arif dan Pandu kuliah di ITB, dan Nisye dan Vidya (suami Nisye) mengontrak rumah sendiri, Mang bersama Dewi menetap bersama Eri di Surabaya. Kemudian Eri dan Mang membeli rumah di Jl. Kramat VI No. 12, Jakarta (Sekarang Wisma Dewo) yang mulai ditemati setelah Eri selesai menjadi Rektor Universitas Airlangga.

Wisma Dewo Jl. Kramat VI No. 12 (Dok. pribadi, November 2020)

Selain sebagai Rektor, Eri juga merangkap sebagai Pembantu Gubernur Jawa Timur dan Koordinator Perguruan Tinggi Wilayah VII (Jawa Timur)

Setelah dipanggil Mayjen Soemitro (Pangdam Brawijaya) Eri mengeluarkan peraturan agar semua mahasiswa yang memenuhi syarat-syarat kesehatan harus mengikuti latihan kemiliteran selama 2 tahun.


Akrab dengan Mahasiswa

Sebagai Rektor, Eri membuka rumah dinas rektor 24 jam untuk mahasiswa, oleh karenanya Eri sangat akrab dengan mahasiswa. Bahkan pada 27 Desember 1974 ketika Eri sudah menyelesaikan tugasnya sebagai rektor dan akan kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Swedia sebagai Duta Besar, ‘anak-anak Surabaya’ ingin mengantar Eri ke Jakarta, mereka menghabiskan malam tahun baru 1975, berlibur dan menginap di Pondok Putri Duyung di Pantai Ancol bersama keluarga besar Eri. Mang membawa mereka menikmati makanan khas Jakarta seperti Gado-gado Boplo dan Bakmi Gajah Mada.

Rumah Dinas Rektor Jl. Jawa No. 16 (Dok. pribadi, Februari 2022)

Sebelum keberangkatan ke Swedia juga para mahasiswa ke Jakarta lagi untuk liburan bersama Eri. Kali ini Eri mengajak mereka main ice skating di Senayan Ice Skating Rink. Bahkan ketika menjabat Duta Besar untuk Swedia pun ‘anak-anak Surabaya’ menyusul Eri ke Swedia untuk liburan. Eri menyediakan bis khusus untuk membawa mereka berwisata keliling Stockholm, hotel dan sarapan dan makan malam.

Pemberian Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Ekonomi kepada Ibnu Sutowo oleh Universitas Airlangga, 11 November 1972 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Eisenhower Fellowships

Eri terpilih sebagai fellow Eisenhower Fellowships tahun 1968 dan akan berkeliling dan berkunjung ke Amerika selama paling sedikit 6 bulan sampai 8 bulan menggunakan mobil.

Pada bulan Februari 1968 Eri dan Mang pergi ke Philadelphia untuk pertemuan orientasi dan mengambil fasilitas berupa mobil yang disediakan selama kegiatan Eisenhower Fellowships berlangsung, dengan sebelumnya mengunjungi Manila, Hongkong dan Tokyo untuk membei pakaian hangat dan mengunjungi Dani. Tujuan pertama Eri dan Mang dalam kegiatan Eisenhower Fellowships adalah Washington DC dan menginap di rumah Wisnu, Atase Udara di KBRI Washington DC. tujuan berikutnya antara lain

  1. Davis dan Salem untuk mengunjungi beberapa universitas
  2. New York
  3. Yellowstone Park dan Grand Canyon
  4. Salt Lake City untuk menonton film tentang seluk-beluk kehidupan bangsa Mormon.
  5. New Orleans untuk mengunjungi Prof. Coogan
  6. Las Vegas
  7. Los Angeles untuk mengunjungi dr. Sonny Sumarsono dan Soedjatmoko, Duta Besar RI di Amerika Serikat
  8. San Fransisco untuk meninjau daerah pemukiman kaum hippy di Telegraph Hill
  9. Peoria selama 3 minggu untuk menemui dr. Ort dan mengunjungi Universitas Illinois, Universitas Chicago dan Institute Adlai Stevenson
  10. Houston, untuk bertemu dr. Denton Cooly
  11. Aspen, untuk pertemuan dan seminar Eisenhower Fellowships
  12. Dakota dan North Carolina
  13. Albany
  14. Glen Falls untuk mengikuti kursus improving the quality of public administration selama 2 pekan
  15. New York, mengujungi teman dekat dari Jakarta dan tinggal di rumah Muter (adik dari Mr. Ida Anak Agung Gde Agung)
  16. Washington DC, untuk menghadiri pesta The Airforce Ball dengan pasangan Ali Alatas
Pesta Gala Angkatan Udara di Washington, 1968. Kiri ke kanan: Eri, Kol. Wisnu (Atase Udara RI), Ny. Ali Alatas, Mang, Nanny Wisnu (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Setelah kegiatan Eisenhower Fellowships selesai Eri dan Mang pergi jalan-jalan ke Eropa sebelum pulang ke Indonesia. Negara yang didatangi antara lain

  1. Brussel, Antwerpen
  2. Den Haag
  3. Paris
  4. Kairo, menginap di kediaman Letjen Ahmad Yunis Mokoginta, Duta Besar RI di Mesir.

Pernikahan Nisye dan Vidya

Vidya (1), Nisye (2) dan Eri (3) pada akad nikah Vidya dan Nisye (Mata, Cinta dan Terang Semesta, 2017)

Pernikahan Endang Sulistyo Sayekti Khatulistiwati (Nisye) dan Vidyapati Mangunkusumo (putera dari Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo) harus dilaksanakan mendadak dan terburu-buru mengingat Nisye memiliki tumor di dalam indung telurnya dan bisa sembuh tanpa operasi apabila adanya kehamilan. Dengan adanya kehamilan, tumor itu akan mengecil, karena hormon yang kelebihan akan dihabiskan oleh janin yang sedang tumbuh besar.

Pernikahan diselenggarakan pada 6 September 1970, 2 bulan setelah lamaran. Eri dan Mang tidak sanggup dan tidak siap untuk menyelenggarakan sebuah pernikahan besar-besaran sehingga Eri dan Mang tidak menyebar undangan, hanya mengirimkan pemberitahuan. Hanya keluarga dan handai tolan terdekat saja yang diundang, jumlahnya hanya beberapa puluh orang. Nisye meminta mas kawin berupa bendera nasional kita.

Eri ingin mengirimkan Nisye dan Vidya jalan-jalan ke Tokyo. Duta besar saat itu Letjen Ashari Danudirdjo, kebetulan istrinya adalah sepupu Vidya.

Tahun 1973 Eri dan Mang pergi ke Eropa 

  1. Inggris, untuk mengunjungi Prof. Barnes
  2. Erlangen, Jerman untuk memenuhi undangan Siemens
  3. Belanda, untuk mengunjungi beberapa universitas
  4. Munich, Jerman untuk menghadiri konferensi ilmu bedah
  5. Austria, untuk mengunjungi teman lama Mr. Ida Anak Agung Gde Agung, Duta Besar Indonesia untuk Austria. Berkat Vera (istri Agung) Mang mendapatkan diskon diplomatik ketika belanja. Mereka juga mengunjungi Vienna Opera House
  6. Paris, untuk mengunjungi Universitas Sorbone dan Universitas Marseilles. Selama di Paris akomodasi diurus oleh Atase Militer di KBRI, Kolonel Suhardi (Adik dari Letjen Ashari Danudirdjo)
  7. Colombo, Sri Lanka untuk mengunjungi teman sewaktu di Eisenhower Fellowships dan bermain golf dengan Jenderal Soekirman, Duta Besar RI di Sri Lanka.
  8. Bangkok untuk mengunjungi teman sewatu di Eisenhower Fellowships dan menginap di rumah Duta Besar Indonesia.
  9. Kuala Lumpur, untuk menghadiri penganugerahan gelar kehormatan bagi Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia. Eri khusus meminta tolong dibawakan toganya oleh Prof. Mahar Mardjono, Rektor UI
  10. Mang pergi ke Tokyo untuk mengunjungi adiknya selama 10 hari, Dani. Sedangkan Eri pergi ke Surabaya untuk segera menghadiri Kongres Ikatan Ahli Bedah Indonesia.

Tahun 1974 ketika menghadiri resepsi di rumah Mohammad Noer (Gubernur Jawa Timur), Mohammad Noer secara tidak sengaja kelepasan memberi selamat kepada Eri untuk tugas berikutnya sebagai Duta Besar di Swedia.


Persiapan Berangkat ke Swedia

Oleh Hasyim Ning, Eri dan Mang mendapat hadiah tiket ke Singapura untuk berbelanja persiapan bertugas.

Eri diundang oleh Direktur Pioneer Farm, Mr. Russel untuk meninjau peternakan-peternakan di Gold Coast, Australia. Setelah kunjungan resminya, Eri mampir ke: Sydney, Melbourne Adelaide dan Perth.

Eri dilantik sebagai Duta Besar untuk Swedia pada 15 Desember 1975, bersama;

1. Ali Alatas untuk PBB di Jenewa

2. Prof. Fuad Hasan, Dekan Psikologi UI untuk Mesir

3. Soeparman untuk Jerman Timur

4. Letjen KKO Moekijat untuk Finlandia

5. Soedio Gandarum untuk Bulgaria

6. Tjokorda Ngurah Wim Sukawati (putera dari Tjokorda Gde Raka Soekawati) untuk Swiss

Sebelum berangkat bertugas ke Swedia, Eri mengunjungi:

1. Bangkok untuk belajar dengan Letjen Mohammad Kharis Suhud, Duta Besar Indonesia untuk Thailand

2. Rangoon, untuk mengunjungi Dani (Adik Mang). Suami Dani, Kassim Mohammad Hussein, Duta Besar Malaysia untuk Myanmar.

3. London, untuk berbelanja di Jalan Saville Row. Eri dan Mang juga makan malam di kediaman Marsekal Saleh Basarah, Duta Besar untuk Britania Raya.


Duta Besar di Swedia 1975-1978

Sebagai Duta Besar RI di Kerajaan Swedia 1975-1978 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Pada 20 Januari 1976 Eri dan Mang tiba di Stockholm dan diterima Raja Gustav VI pada6 Februari  1976.

Sebagai anggota korps diplomatik Eri dan Mang mendapatkan kartu khusus yang bisa berbelanja tanpa dikenai pajak.

Selama menjabat kegiatannya antara lain

  1. Courtesy call
  2. Pameran seni dan budaya oleh Bambang Utoro
  3. Perjalanan wisata oleh Kementrian Luar Negeri Swedia

Impian Eri sebagai Duta Besar adalah

  1. Mengadakan Pekan Indonesia April 1978
  2. Membentuk Lembaga Persahabatan Indonesia-Swedia
  3. Mendapatkan villa yang pantas dijadikan rumah kediaman Duta Besar Indonesia, Wisma Duta yang megah. Villa itu bernama Villa Constantia (Constantiavagen) di Jl. Hagroken No.8, Lidingo
Eri dan Mang, 21 April 1978 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan, 2008)

Pada 1978 Eri pergi ke Paris untuk menemui Prof. Mochtar Kusumaatmaja, Menteri Luar Negeri

Berkat bantuan Abubakar Lubis, Duta Besar RI untuk Cekoslowakia, Eri dan Mang berhasil memperoleh piring, mangkuk dan furnitur ruang makan.

Eri dan Mang menikahkan Dewi dengan pacarnya, Joko (Putera Mr. Soewito Koesoemowidagdo) pada 29 November 1978 di Stockholm, Swedia

Pada malam terakhir Eri dan Mang di Swedia, mereka makan malam di Wisma baru, hadir juga Arifin Siregar, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat beserta istri.

Sebelum kembali ke tanah air, Eri dan Mang keliling Eropa dan menginap di hotel kelas satu sebagai hadiah untuk Mang karena telah mendampingi Eri.


Masa Purnabakti 1979

Kiri ke kanan: Dewi, Arif, Eri, Mang, Nisye, Pandu 1980 (Hidupku bersama Eri-san: Pejuang Kemerdekaan 2008)

Tujuan pertama Eri dan Mang adalah Madrid, mereka diterima dan dimanjakan oleh Marsdya Budiardjo, Duta Besar RI untuk Spanyol. Tujuan selanjutnya adalah

  1. Yunani
  2. Thailand
  3. Kuala Lumpur

Lebih dari 30 tahun kehidupan Eri dan mang selalu terjamin, ditanggung pemerintah. Mula-mula TNI,  kemudian selama 8 tahun Universitas Airlangga yang menjaminnya, kemudian di Swedia pemerintah pusat yang menanggung segalanya. Saat ini ia merasa tidak mempunyai orang atau instansi yang menjamin dirinya. Selama bertugas Eri tidak pernah memikirkan uangSekarang ia menyadari, ia harus mencari uang.

Eri menghabiskan masa pensiunnya di Bandung dan Jakarta. Ia merasa terpukul, tidak berguna dan khawatir tidak bisa diharapkan oleh Mang. Aktivitasnya antara lain

  1. Membantu Mang memulai bisnis sirop asem
  2. Jogging di Lapangan Monas, lalu mengantar cucu ke sekolah
  3. Bermain golf 2-3 kali seminggu
  4. Menjadi Perwakilan Bofors Indonesia
  5. Praktik di RSPAD
  6. Praktik di Klinik milik Zaleha Sutowo
  7. Direktur PT. Teluk Tomini
  8. Mengajar di pasca sarjana Ladokgi
  9. Menulis buku ‘Mahasiswa Prapatan 10 dan Pengabdiannya

Karena Eri ingin menikmati kebersamaan dengan cucu-cucunya sesering mungkin, Eri dan Mang selalu menjemput mereka beserta pengasuh-pengasuhnya dengan pick-up Suzuki Eri. Baknya Eri penuhi dengan bantal-bantal supaya empuk. Eri selalu menemani mereka di bak belakang yang terbuka itu dan Mang yang menyetir. Mereka paling suka pergi ke Monas, untuk menikmati air mancur yang mulai menari dengan iringan musik pukul 6 sore. Disana Eri paling suka jajan tahu goreng panas dengan cabe rawitnya.

Kunjungan dr. Svante Tornvall

Brigjen Adjat Soedrajat (Ketua DPRD Jawa Barat) yang dulu anak buah Eri di Banten memfasilitasi tamu Eri, dr. Svante Tornvall (Duta Besar Chili untuk Swedia) untuk berlibur di Indonesia. Adapun kegiatanya adalah

  1. Makan di Restoran Oasis
  2. Bermain Golf di Bandung
  3. Berendam air panas dan makan siang di Sariater, Subang
  4. Malam kesenian Sunda di lobi Hotel Preanger, hadir juga Letjen Mashudi, Gubernur Jawa Barat

Brigjen Adjat Soedrajat juga menyediakan bus untuk perjalanan mereka ke Yogya dan menginap di Hotel Ambarrukmo. Mereka sempat mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan. Pada pagi hari mereka terbang ke Bali dan tiba di Jakarta lagi sebelum tahun baru.

Ulang Tahun ke-35 Perkawinan 

Pada 16 Mei 1981 Eri dan Mang merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang ke 35 di kediaman mereka di Jl. Lamping No.2, Bandung. Seluruh keluarga datang, handai tolan dan para mahasiswa yang dulu mondok di kediaman Eri juga datang. Ada yang membuat tumpeng nasi kuning dan anak-anak membeli seekor kambing untukkambing guling. Titot (adik Mang) membeli kanvas kosong dalam bingkai yang nantinya semua yang hadir supaya menulis ucapan kepada Eri dan Mang disertai tanda tangannya. Kanvas berbingkai itu masih ada di rumah Eri dan Mang di Bandung, sebuah kenangan peringatan perkawinan kami terakhir.


Kematian

Setelah diketahui mengidap sirosis hati dalam tahap parah, tim dokter kepresidenan menghubungi Prof. dr. Sheila Sherlock ahli penyakit hati tersohor di London untuk mengetahui apa saja yang ia kehendaki jika kedatangan pasien sirosis hati dari Indonesia. Jawabnya, hasil semua pemeriksaan dan tes laboratorium, yang memang Eri sudah jalankan semua, ditambah satu hal lagi yang belum dilakukan, yaitu hasil biopsi.

Eri, Mang, Nisye dan dr. Henk Kartadinata akhirnya pergi ke Tokyo. Duta Besar RI untuk Jepang, Letjen Wiyogo Atmodarminto mengirim seorang penerjemah untuk Eri.

Setelah menjalani seluruh rangkaian pemeriksaan dari awal lagi di Japan National Cancer Center seperti yang diminta Prof. dr. Sheila Sherlock, kawan lama Eri, Bung Koko (Soedjatmoko) yang sedang menjabat Rektor United Nations University menjenguk Eri.

Keesokan harinya, pagi hari KBRI di Tokyo meminta seluruh orang Indonesia berkumpul untuk mengantar Eri pulang ke Jakarta. Hadir pula Bung Koko yang merangkul Eri sambil menangis dan mengucapkan:

Selamat jalan Eri….selamat jalan sahabatku!”

Ketika itu Mang tau bahwa Bung Koko sudah diberitahu bahwa Eri sudah tak ada harapan untuk sembuh lagi dan tidak akan saling bertemu lagi.

pukul 03:45 11 November 1984, Mayjen. Prof. dr. Eri Soedewo menghembuskan nafas terakhirnya dengan sagat tenang. Disemayamkan di RSPAD dan dimakamkan di TMPN Utama Kalibata. Yang bertindak sebagai Inspektur upacara adalah Mayjen. Prof. dr. Satrio, sedangkan yang berpidato atas nama keluarga adalah dr. Saleh Aldjufri dari Surabaya.

Nama Prof. Dr. H. Eri Soedewo di Tembok Abadi TMPN Utama Kalibata (Dok. pribadi, April 2020)
Makam Eri Soedewo (Dok. pribadi, April 2020)

One thought on “Mayjen. Prof. dr. Eri Soedewo

Add yours

  1. Tulisan yang sangat bagus. Salam kenal. Saya Agus M Irkham penulis buku Mata, Cinta dan Terang Semesta. Salah satu buku yang Anda gunakan sbg rujukan tulisan ini. Apakah saya boleh meminta nomor HP/WA Anda?

    Terima Kasih
    Agus M Irkham

    Like

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started