Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo

Berdasarkan kisah hidup Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo yang ditulis dalam “90 Tahun Prof. Mr. Sunario; Manusia Langka Indonesia” karya Sagimun M.D dan “Semangat Kebangsaan dan Politik Luar Negeri Indonesia; Mengenang 100 Tahun Prof. Mr. Sunario” karya Prof. Sunaryati Hartono, Hendarmin Djarab dan Lili Irahali.

Sunario Sastrowardoyo (Kami Perkenalkan, 1954)

Lahir : Madiun, 28 Agustus 1902

Wafat: Jakarta, 18 Mei 1997

Istri: Dina Maria Geraldine Maranta Pantouw (Dien)

Anak

  1. Prof. Carolina Felicita Gerardine Sunaryati Hartono (Medan, 7 Juni 1931)
  2. Prof. Maria Antonia Astrid Sunarti Susanto (Makassar, 4 Januari 1936)
  3. Sunardine Ilyas (Makassar, 19 Maret 1939)
  4. Wuryastuti Sunario (Salatiga, 6 November 1940)
  5. Irawan Sunario M. A (Jakarta, 20 Juli 1943)

Pendidikan

  1. Frobelschool Madiun 1908-1909 (TK)
  2. ELS Madiun 1909-1916 (SD)
  3. MULO Madiun 1916-1917 (SMP)
  4. Rechts School Jakarta 1917-1923 (SMP+SMK)
  5. Ilmu Hukum Universitas Leiden 1923-1925 (S1+S2)
  6. Guru Besar Ilmu Politik dan Hukum Internasional Universitas Diponegoro 1963

Karier

  1. Pengacara di Bandung, Medan, dan Makassar 1926-1940
  2. Pemimpin Redaksi Majalah Sedio Tomo, Yogyakarta 1940-1942
  3. Pegawai Tinggi Departemen Kehakiman (Syihoobu) 1943
  4. Anggota dan Badan Pekerja KNIP 1945
  5. Dekan Pertama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 1946
  6. Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara 1950-1953
  7. Menteri Luar Negeri RI 1953-1955
  8. Duta Besar RI untuk Britania Raya 1956-1961
  9. Rektor Universitas Diponegoro 1963-1966
  10. Badan Pekerja MPRS 1968

Organisasi

  1. Sekretaris II Perhimpunan Indonesia, Belanda 1925
  2. Komisaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Sulawesi Selatan
  3. Komisaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Jawa Tengah
  4. Ketua Pertama Non Governmental Organization (NGO)
  5. Ketua Pertama Interparlementary Union Indonesia
  6. Penasehat Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

Relasi

  1. Kakak dari Subagio Sastrowardoyo dan dr. Sumarsono Sastrowardoyo (kakek dari Dian Sastrowardoyo)

Kediaman

  1. Jl. Ahmad Yani No. 31, Makassar
  2. Jl. Krasak, Yogyakarta
  3. Jl. Raden Saleh No. 22, Jakarta Pusat

Masa Kecil

TK sampai SMK (1908-1923)

Nario adalah anak pertama dari 14 bersaudara dari seorang Wedana di Uteran, Sutejo Sastrowardoyo dan ibu bernama Suyati Kartokusumo. Mula-mula Nario masuk Frobelschool (1908-1909) sekolah setingkat TK, kemudian Europeesche Lagere School (1909-1916), sekolah setingkat SD dan tinggal di rumah kakek, Sastrosentono. Tahun 1916 Nario masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs sekolah setingkat SMP di Madiun. Hanya berjalan setahun, pada tahun 1917 Nario pindah ke Jakarta dan bersekolah di Rechtschool (1917-1923), sekolah hukum setingkat dengan SMK selama 6 tahun lama studi. Selama di Jakarta Nario tinggal di rumah paman, Pak Kusman dan Pak Kunto. Nario juga bersahat dengan T.M. Hanafiah.

Kuliah 1923-1925

Pengurus Perhimpunan Indonesia 1925. Duduk dari kiri ke kanan: Soendoro Boediarto Martoatmodjo, Ahmad Soebardjo, Soekiman Wirjosandjojo, Mohammad Hatta dan Nario. Berdiri dari kiri ke kanan: Arnold Mononutu, Mohammad Nazif, Sartono, dan Mohammad Joesoef (Arnold Mononutu; Potret Seorang Patriot, 1981)

Sewaktu menjadi mahasiswa di Universitas Leiden, Nario menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, bahkan tahun 1925 Nario menjabat Sekretaris II. Pada 15 Desember 1925, Nario lulus magister hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten (Mr) pada Fakultas Hukum Universitas Leiden. Ijazahnya ditandatangani oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (Dekan) dan Prof. Nicolaas Johannes Krom (Rektor). Pada 1926, Nario kembali ke Indonesia.


Pengacara 1926-1940

Bandung 1926-1928

Sekembalinya dari Belanda, Nario tetap berpegang teguh tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Akhirnya Nario bekerja di kantor pengacara Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo di Jl. Dewi Sartika No. 22, Bandung (Mr. Sartono; Karya dan Pengabdiannya, 1985) yang sudah didirikannya sejak 1925 (Iskaq Tjokrohadisurjo; Alumni Desa Bersemangat Banteng, 1982). Nario juga memimpin Organisasi Kepanduan Nasional atau Nationale Padvinders Organisatie (NPO) bersama Abdul Rachim dan Anni Rachim (ayah dan ibu mertua Bung Hatta).

Jakarta 1928-1929

Pada Tahun 1928 Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo membuka kantor cabang di Jl. Pintu Kecil, Jakarta Barat (Mr. Sartono: karya dan pengabdiannya, 1985). Kantor cabang tersebut dipimpin oleh Nario dan Mr. Sartono. Kepindahan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya perkara yang harus dibela di Jakarta.

Medan 1929-1931

Dien dan Nario bersama Atik (anak pertama), di depan rumah di Medan 1931 (Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi II, 1982)

Atas tawaran Mr. Iwa Koesoemasoemantri, Nario pindah ke Medan untuk membantu kantor pengacara yang telah dibukanya di Jl Huttenbach No. 12 (Hantu Digoel, 2001) atau sekarang lebih dikenal dengan Jl. Ahmad Yani VII No. 12, Medan (Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan, 2018) Namun pada Juli 1929, Mr. Iwa ditangkap dan diasingkan ke Banda Neira oleh Pemerintah Belanda, Nario melanjutkan pekerjaannya bersama Mr. Joesoef. Sementara itu akibat kegiatan politiknya, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo memindahkan prakteknya dari Bandung ke Manado. Dari Manado, Mr. Iskaq mengirimkan surat kepada Sunario untuk membantu firma hukumnya di Makassar, di Jl. Pasar (Mr. Sudjono; Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, 1983) sekarang lebih dikenal dengan Jl. Nusantara (Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan, 1985).

Makassar 1931-1940

Nario dan Dien beserta tiga anak di Makassar 1939 (Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi II, 1982)

Setelah menyerahkan kantor di Medan kepada Mr. Joeseof , Nario pergi ke Makassar memenuhi permintaan Mr. Iskaq. Bersama keluarganya, Nario tinggal di Jl. Hogepad No. 31, sekarang Jl. Ahmad Yani No. 31, Makassar (Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan, 1985). Akibat Nario sering begelimang politik, prakteknya selama 14 tahun menjadi pengacara sejak 1926 di Bandung sampai 1940 sering terhalang, seperti dikejar intel Belanda. Disisi lain persaingan dengan Pengacara Belanda dan Cina juga sulit, Hidupnya sangat melarat.

Untungnya Dien Pantouw, istri Nario tidak pernah mengharapkan kekayaan dari pekerjaan pengacara dan selalu memberi dukungan mental. Berdasarkan Majalah Tempo 18 Agustus 1979, Nario pernah menyodorkan Dien sebuah iklan tawaran bekerja oleh Perusahaan Belanda dengan gaji besar, namun Dien langsung menjawab “Nggak usah”. Ketika itulah Nario makin mantap dengan pendiriannya. Kepada Slamet Djabarudi dari Tempo, Nario berucap “Orang bisa memeriksa ke kantor pegadaian bagaimana nasib saya waktu itu, disitu saudara tau berapa banyak barang saya yang tak bisa saya tebus”.

Keadan Nario masih sangat melarat, berdasarkan Majalah Tempo edisi 18 Agustus 1979, putri keempat Nario, Wuryastuti Sunario lahir di Salatiga ditangan bidan yang sampai saat ini belum sempat dibayar oleh Nario. Nario juga pernah bergegas berangkat dari Salatiga ke Bandung hanya untuk menjual arlojinya yang hanya laku 15 gulden.


Pergerakan di Bandung 1926-1928

Jong Indonesia/Pemuda Indonesia

Kongres Jong Indonesia pertama di Bandung, Desember 1927 Dari kiri ke kanan: Dr. Samsi Sastrawidagda, Nario dan Mr. Sartono (Perpustakaan Nasional RI, 2005)

Bersama Mahasiswa THS dan pemuda pelajar sekolah menengah, Nario, Bung Karno dan Mr. Sartono mendirikan Jong Indonesia di Bandung 20 Februari 1927. Pada kongresnya yang pertama pada Desember 1927, Jong Indonesia diganti namanya menjadi Pemuda Indonesia. Pada Kongres Pemuda Indonesia II yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Indonesia mengirimkan delegasinya R. Katjasungkana sebagai Pembantu II dalam kepanitiaan kongres.

PNI

Pada 4 Juli 1927 Pak Nario ikut mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian diubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Pendirinya adalah

  1. Mr. Sunario Sastrowardoyo
  2. Ir. Soekarno
  3. Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo
  4. Mr. Sartono
  5. Dr. Samsi Sastrawidagda
  6. Mr. R. Soendoro Boediarto Martoatmodjo (adik dari dr. Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama)
  7. Ir. Anwari
  8. Sujadi
  9. J. Tilaar

Antara PNI dengan Indische Partij

Indische Partij bertujuan untuk membangkitkan rasa cinta di dalam hati setiap orang Hindia terhadap bangsa dan tanah airnya, yang dimaksud dengan orang Hindia adalah orang-orang Bumiputra, Belanda Indo, dan Peranakan Cina (babah). Semboyan Indische Partij adalah

Indie los van Holland en Indie voor de Indiers” yang artinya Hindia lepas dari Negeri Belanda dan Hindia untuk orang-orang Hindia”

Waktu itu orang-orang Indo atau peranakan Belanda merasa nasib mereka akan lebih baik jika bekerja sama dengan orang-orang bumiputra. Peranakan Belanda Indo ini merasa lebih superior daripada orang-orang bumiputra namun oleh orang-orang Belanda totok, orang-orang Belanda Indo ini tidak sepenuhnya diakui oleh mereka.

Sedangkan Tujuan PNI adalah mencapai kemerdekaan Indonesia atas asas percaya akan kekuatan dan kamampuan bangsa sendiri (bumiputra atau orang Indonesia asli), untuk itu PNI menolak bekerja sama bersikap nonkoperatif dengan Pemerintah Belanda dengan melarang anggota PNI duduk di lembaga-lembaga yang didirikan Pemerintah Belanda, menganjurkan kegiatan di bidang kerajinan, industri kecil, perbankan dan koperasi dan mendirikan sekolah-sekolah swasta, kursus-kursus dan keterampilan.


Kongres Pemuda Indonesia II

Nario memimpin organisasi kepanduan yang bernama Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO). INPO merupakan peleburan antara NPO dan Kepanduan dari Pemuda Indonesia. Kemudian Nario menjadi Ketua Federasi Persatuan Antara Pandu-pandu Indonesia (PAPI)

Pada Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat, Nario menjadi braintrust dan delegasi mewakili PAPI dan INPO. Nario mengemukakan pidato yang berjudul Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indoneisa.

Semula kongres yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta ini diketuai oleh Mr. Soejoedi namun karena waktu kongres bertepatan dengan waktu Ir. Soekarno diadili di Bandung maka Mr. Soejoedi, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo memilih pergi ke Bandung untuk membela perkara Bung Karno. Sedangkan ketua kongres diserahkan kepada Soegondo Djojopoespito.

Bertemu Cinta Sejati

Ketika Kongres Pemuda II, Nario bertemu dengan peserta dari Jong Minahasa, perempuan bernama Dina Maria Geraldine Maranta Pantouw (Dien). Nario segera tertarik dan meminta Arnold Mononutu yang berteman dekat dengan kakak Dien, O.H Pantouw (Ingka) untuk memperkenalkannya kepada Dien. Dua tahun kemudian mereka menikah.

Dien lahir di Manado, 17 Oktober 1909 adalah perempuan nasrani minahasa. Dien pindah ke Jakarta sejak 1927 dan bersekolah di Koning Willem III School te Batavia (KW III). Meski berbeda keyakinan, Dien (20) dan Nario (27) menikah pada 7 Juli 1930 di Kantor Catatan Sipil Batavia dan diberkati di Gereja Willemskerk, sekarang GPIB Immanuel Jakarta (Becermin lewat tulisan, 2012). Pernikahan tersebut hanya dihadiri oleh 6 orang antara lain Ingka, Theo Pangemanan (Suami kakak Dien, Lien Pantouw) dan pejabat pernikahan yang berwenang. Saat itu Nario sudah menjadi pengacara di Medan.


Masa Pendudukan Jepang 1942-1945

Atas usul Mr. Sudjono, Nario kembali ke Jakarta. Di Jakarta Nario diangkat sebagai Pegawai Tinggi Departemen Kehakiman (Syihoobu) yang dipimpin oleh Prof. Mr. Soepomo sebagai penasihat (Sanyo). Ketika itu diangkatlah 1 kepala departemen, 2 residen dan 7 penasihat (Sanyo) pada pemerintahan Jepang yaitu:

  1. Prof. Dr. P.A Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Agama (Syumobuco)
  2. Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo dan R.M.T Ario Soerjo sebagai Residen (Syucokan) di Jakarta dan Bojonegoro
  3. Ir. Soekarno untuk Departemen Umum (Sumubu)
  4. Mr. Soewandi dan dr. Abdoel Rasjid untuk Departemen Dalam Negeri (Naimubu)
  5. Prof. Mr. Soepomo untuk Departemen Kehakiman (Syihoobu)
  6. Mr. Ottoman Mochtar Prabu Mangkunegara untuk Departemen Lalulintas (Kotsubu)
  7. Mr. Muhammad Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu)
  8. Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Ekonomi (Sangyobu)

Nario juga memimpin Sekolah Kehakiman (Shihookanri Yoozeijo) dan diangkat Guru Besar Hukum Pidana pada Sekolah Tinggi Pemerintahan atau Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin).


Kembalinya Belanda bersama Sekutu 1946-1950

Situasi tidak berubah, Nario masih harus hidup prihatin di Yogyakarta. Nario dan keluarga menempati sebuah rumah kecil di Jl. Krasak. Ia bahkan harus menjual barang-barangnya satu persatu untuk membeli beras dan makanan. Kepindahan ini karena situasi yang tidak kondusif di Jakarta pasca proklamasi, pada 4 Januari 1946 Pemerintah RI memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta.

Ketika Indonesia merdeka, Nario diangkat menjadi Anggota dan Badan Pekerja KNIP. Semula kantornya di Jakarta, namun sejak pindah ke Yogyakarta, kantornya dipindahkan ke Purworejo.

Selain memberikan pelajaran kepada Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di kediamannya, Nario bersama Mr. R. Soendoro Boediarto Martoatmodjo, Ki Hadjar Dewantara, Dr. Prijono dan lainnya mendirikan Universitas Gadjah Mada. Nario juga menjadi Dekan Pertama Fakultas Hukumnya. Bersama Mr. R. Soendoro Boediarto Martoatmodjo, Nario diminta pula menjadi Penasihan Divisi III/Yogyakarta pimpinan Mayjen. Soedarsono.

Nario juga menjadi Sekretaris bagian politik Delegasi Indonesia pada Perundingan Kaliurang dan Perundingan Renville.

Dikriminasi

Pasca persetujuan Renville, Nario dan keluarga kembali pindah ke Jakarta. Kepindahan tersebut tidak bisa dilakukan bersamaan sehingga Nario bersama Atik berangakat lebih dulu dan Dien membawa Astrid, Sunardine, Wuryastuti, Irawan ke Makassar.

Dien sangat sedih karena anak-anaknya tidak diterima di Sekolah Cikini, yang waktu itu terkenal sebagai sekolah kaum republiken, sehingga dengan terpaksa Dien memasukkan anak-anaknya ke sekolah Santa Ursula. Penolakan ini disebabkan Dien berasal dari Sulawesi Utara dan baru tiba dari Makassar. Oleh karena itu Dien dianggap tidak berjiwa republik dan berpihak kepada Belanda. 


Setelah Pengakuan Kedaulatan

Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara 1950-1953

Selama menjadi Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara, Nario giat membela hak-hak demokrasi parlementer, penganjur politik kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika, mengadakan pidato-pidato di Radio Republik Indonesia (RRI), menjadi penasihat delegasi Mr. Mohamad Roem ke Belanda, memimpin Delegasi Indonesia di Konferensi Non Governmental Organization (NGO) di Bali (1950) dan Manila (1952), menjadi Ketua NGO dan Interparlementary Union Indonesia yang pertama dan mengepalai delegasi Parlementer RI ke Inggris.

Menteri Luar Negeri RI 1953-1955

Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Nario berdiri baris depan, kedua dari kiri (Perpustakaan Nasional RI, 2006)

Sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Nario membubarkan Uni Indonesia- Belanda, menjadi Ketua delegasi RI pada Sidang Umum PBB 1953 dan 1954, Ketua delegasi RI pada Konferensi Colombo Plan di Ottawa, Pertemuan Tugu di Puncak pada Maret 1954, Jawa Barat dan Konferensi Bogor pada Desember 1954 dan Ketua delegasi RI pada Konferensi Asia-Afrika pada April 1955 di Bandung.

Nario memimpin Pertemuan Tugu di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat, 9-22 Maret 1954 (Museum Konperensi Asia Afrika)
Nario (kiri) mendampingi Perdana Menteri, Mr. Ali Sastroamidjojo (tengah) memimpin Konferensi Bogor 28-29 Desember 1954 (Museum Konperensi Asia Afrika)
Nario (kanan) dan Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. Joseph Luns (kiri) menandatangani pembubaran Uni Indonesia-Belanda di Den Haag, 10 Agustus 1954 (Nationaal Archief, Belanda)
Nario (kiri paling depan) memimpin delegasi Indonesia di Konferensi Asia-Afrika 18-24 April 1955. Duduk disebelahnya Ir. Roosseno (British Pathe, 2014)

Duta Besar RI untuk Britania Raya 1956-1961

Sebagai Duta Besar RI untuk Britania Raya, Nario berhasil memindahkan Kantor Bank Indonesia dan Kantor Berita Antara dari Belanda ke Inggris, membuat rute penerbangan maskapai Garuda Indonesia, tujuan Indonesia-Tokyo melalui Hongkong, membantu Duta Besar RI untuk Jerman Barat, Mr. Zairin Zain memindahkan tempat penjualan tembakau Indonesia dari negeri Belanda ke Bremen, Jerman Barat. Pada 1959 bersama Deputi II KSAD, Kolonel Achmad Yani membeli senjata berat dan pesawat terbang Gannet dari Pemerintah Inggris. Nario juga mengganti nama kediaman resmi Duta Besar RI di Inggris dari ‘Grove:Lodge‘ menjadi ‘Nusantara’.

Penandatanganan pembelian senjata dalam “Misi Yani”. Dari kiri ke kanan, Kolonel Rivai (Kepala Puspalad), Kolonel Achmad Yani (Deputi II KSAD), Mr. Soenario (Duta Besar RI) dan Letkol Soetojo Siswomihardjo (Atase Pertahanan) di KBRI di London, 1959 (Achmad Yani Tumbal Revolusi, 2007)

Rektor Universitas Diponegoro 1963-1966

Nario sebagai Guru Besar Ilmu Politik dan Hukum Internasional dan Rektor Universitas Diponegoro 1963-1966 (Perpustakaan Nasional RI, 2005)

Sebagai Rektor Universitas Diponegoro di masa yang sulit, Universitas Diponegoro menghadapi teror dan intimidasi dari Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Masa itu memang sangat sulit, rumit dan mudah terjadi insiden.

Berdasarkan Biografi dr. Achmad Sujudi; Dari Pulau Buru ke Cipinang. Pada 1966, dalam memoar Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Mr. Soenario Sastrowardoyo mengatakan mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) melakukan pengrusakan terhadap fasilitas kampus. Pengrusakan tersebut bermula dari bentrokan internal mahasiswa UNDIP sendiri yang melibatkan KAMI dan GMNI.

Achmad Sujudi sendiri adalah seorang Mahasiswa Kedokteran UI dan anggota Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat.

Nario pensiun sebagai guru besar pada Juli 1971 dalam usia yang hampir 69 tahun. Meskipun sudah berusia lanjut dan pensiun, Nario tidak pernah berhenti mengabdikan diri. Old soldiers never die, they only fade away.


Masa Purnabakti

Jl. Raden Saleh Raya No. 22 (Dok. pribadi, Maret 2022)

Nario yang tinggal di Jl. Raden Saleh Raya No. 22 mengisi hari-hari pensiunnya dengan memberi kuliah di Universitas baik di dalam negeri seperti Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Hasanuddin, Universitas Jember, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Nasional, Universitas 17 Agustus 1945 dan Universitas Jakarta, maupun di luar negeri. Nario juga memberi ceramah ilmiah di LEMDIKSKOGAB (Sekolah Staf dan Komando TNI) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Departemen Luar Negeri.

Sunario berdiri diantara 2 putrinya. Berdiri dari kiri ke kanan: Prof. Astrid Susanto (Guru Besar Sosiologi Komunikasi UI), Prof. Nario dan Prof. Sunaryati Hartono (Guru Besar Hukum Ekonomi UNPAD). (Semangat Kebangsaan Dan Politik Luar Negeri Indonesia; Mengenang 100 Tahun Prof. Mr. Sunario, 2002)

Selain mengajar dan memberikan ceramah Nario juga aktif mengetuai Lembaga Pembina Jiwa 45, menjadi anggota Dewan Paripurna Nasional Angkatan 45 (1971) dan Panitia Lima yang diketuai Bung Hatta (1974), mendirikan Lembaga Marhaenis (1980), Yayasan Indonesialogi (1987) dan aktif sebagai penasehat Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).

Dien dan Nario (Facebook.com/Wuryastuti Sunario’s photo)

Nario menghembuskan nafas terakhir pada pukul 20:30 tanggal 18 Mei 1997 di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Jenazah disemayamkan di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, sedangkan upacara pemakaman dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Ali Alatas (Pewarta Departemen Luar Negeri RI, 1997)

Nama Prof. Mr. Sunario di Tembok Abadi TMPN Utama Kalibata (Dok. pribadi, April 2020)
Makam Sunario Sastrowardoyo (Dok. pribadi, April 2020)

Sumber

  1. Semangat Kebangsaan dan Politik Luar Negeri Indonesia; Mengenang 100 Tahun Prof. Mr. Sunario
  2. 90 Tahun Prof. Mr. Sunario; Manusia Langka Indonesia
  3. Suka dan Duka Seorang Pejuang Kemerdekaan; Prof. Mr. Sunario (Halaman 2, 33, 35)
  4. Dari Pulau Buru ke Cipinang (Halaman 264)
  5. Hantu Digoel (Halaman 126)
  6. Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (Halaman 16)
  7. Mr. Sartono: karya dan pengabdiannya (Halaman 40)
  8. Who’s who in Indonesia (Halaman 109)
  9. Apa & siapa sejumlah orang Indonesia (Halaman 787)
  10. Metode Penelitian Hukum (Halaman 168)
  11. Becermin lewat tulisan (Halaman 30)
  12. Merdeka saja sudah puas, Majalah Tempo Edisi 18 Agustus 1979
  13. Jenderal di balik saracen, Historia
  14. Etnik, Elite dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984, Republik Indonesia 1985-2015 (Halaman 227)
  15. Sumpah Satu, Tabloid Reformata Edisi 118 November 2009 (Halaman 6)
  16. Hitler’s Asian Adventure (Halaman 524)
  17. Pewarta Departemen Luar Negeri RI 1997 (Halaman 103)
  18. Warta Ekonomi Volume 6 1994 (Halaman 88)
  19. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
  20. Ahmad Yani Tumbal Revolusi (Halaman 113, 117)
  21. Kami Perkenalkan (Halaman 19)
  22. Perpustakaan Nasional
  23. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi II (Halaman 63-84)
  24. Mr. Sudjono; Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942 (Halaman 92093)

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

Design a site like this with WordPress.com
Get started